"Dari dulu sudah ada sih fenomena itu, seperti kasus Arie Hanggara. Namun pelaku kekerasan seringkali jadi sorotan kalau pelaku adalah ibunya, karena kontradiksi ibu semestinya sayang sama anaknya. Tapi kita tak pernah tahu apa penyebab faktor ibu melakukan itu. Maka kita harus lihat konteksnya, mengapa sampai perilaku itu muncul hingga menyakiti dan menghilangkan nyawa," tutur Direktur Eksekutif Women's Research Institute, Sita Aripurnami.
Hal itu dikatakan Sita kala berbincang dengan detikcom mengenai fenomena ibu yang tega menghilangkan nyawa anaknya usai Women's Leaders Forum di Hotel Le Meridien, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Jumat (25/11/2016).
|
Menurut Sita, akarnya bisa dari tekanan sosial pada perempuan yang lebih keras dalam mendidik anak dan mengerjakan segala pekerjaan rumah tangga ketimbang laki-laki. Seorang ibu, imbuhnya, dituntut mendidik anak dentgan baik plus harus beres mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga, plus harus tersedia makanan di rumah meski situasi ekonomi semakin sulit.
"Tuntutan begitu tinggi pada permepuan menimbulkan stres pada perempuan. Stres boleh, tetapi kita nggak pernah tahu apa penyebab yang mendorong perempuan melakukan kekerasan itu," jelas dia.
Faktor lainnya, misalnya relasi dengan suami atau bapak sang anak kurang bagus. Ada kebutuhan yang tidak dipenuhi sang suami baik dalam hal ekonomi maupun kasih sayang.
"Misalnya, pasangan atau bapaknya anak itu tidak pernah memberi nafkah. Juga karena nggak pernah pulang ke rumah sehingga akhirnya di sebuah relasi sosial di mana dia lebih powerful dari yang lain, dia melampiaskan kekecewanannya itu pada orang yang posisinya lebih rendah dari dia. Meski tak melulu orang yang punya masalah ekonomi itu menunjukkan perilaku agresif seperti itu," jelasnya.
Sedangkan Wakil Indonesia di Komisi ASEAN untuk Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak (ACWC) Lily Purba memperkuat pernyataan Sita Aripurnami bahwa seorang ibu bisa berbuat kejam pada anaknya tak lepas dari masalah-masalah rumah tangga dan relasi dengan suaminya.
|
"Tak lepas dari masalah-masalah rumah tangga seperti ekonomi. Makin perempuan depresi dan makin tidak menemukan jalan keluar, dia akan menjadikan anak jadi target. Dia akan ditendang, dicaci maki, ditelantarkan," tutur Lily usai dalam forum yang sama.
Selain faktor ekonomi, kemampuan sang ibu untuk mengelola depresi akibat tekanan hidup yang ada di masyarakat juga turut menentukan perilaku KDRT pada anak.
Solusinya: Peduli, Jangan Abai
Solusi agar kejadian kasus balita Aditya di Palembang hingga bocah Angelina di Bali tidak terulang, adalah kepedulian masyarakat dan jangan abai. Lily menilai selama ini kepedulian masyarakat masih rendah.
"Dan masyarakat juga mendorong untuk itu (kasus KDRT), nggak ada pengawasan, nggak pernah nanya. Kalau punya tetangga kayak Angeline, kalau gurunya tahu dia bengkak-bengkak dan kumal, tanya dong. Gurunya nggak nanya 'Kenapa kamu kok kumal dan nggak pernah sekolah?' Kalau ada orang berobat tanya kenapa ini lukanya, jangan obat-obatin aja, nggak pernah rumah sakit yang menangani korban kekerasan, apakah itu jatuh atau dipukuli," tutur Lily.
Masyarakat juga harus tahu ada pusat-pusat krisis bagi korban KDRT. Di Jakarta ada Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di Pulogadung yang menangani masalah KDRT mulai visum medis, layanan konseling psikologis hingga rumah aman yang gratis karena sudah dibiayai APBD. Namun sayang informasi seperti ini belum banyak diketahui.
"Di crisis center P2TP2A di Pulogadung, sudah built in. Bagaimana memfungsikan shelter itu untuk anak-anak korban kekerasan itu, kalau nggak ada yang lapor ya nggak ada. Ada lo di sana aksesnya, ada visum dan dokter gratis kan masyarakat nggak tahu. Awareness peduli terhadap sesamanya nggak ada. Misal kalau lihat ada anak yang dipukuli ya biasanya dimaklumi saja, karena anaknya nakal, lagian anaknya dia sendiri ngapain kita urusin," tutur Lily tentang stereotipe abai di masyarakat.
Sedangkan Sita Aripurnami mengatakan pusat krisis terpadu seperti ini kini makin berkurang ditambah organisasi untuk isu KDRT perempuan dan anak makin berkurang. Padahal, tempat seperti ini bisa melakukan terapi kejiwaan pada seorang ibu karena tekanan sosial agar tidak muncul menjadi perilaku agresif.
"Pusat krisis ini makin hilang, sangat disayangkan, nggak terlalu berkembang. Situasi ekonomi tak menentu karena banyak orang kehilangan pekerjaan, hingga banyak yang stress, berakibat perilaku kekerasan muncul," kata Sita.
(nwk/try)
Mengapa Ibu Bisa Tega Menghilangkan Nyawa Anaknya?
http://ift.tt/2gm2qWa
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Mengapa Ibu Bisa Tega Menghilangkan Nyawa Anaknya?"
Post a Comment