"Sekarang masih deadlock (buntu). Belum ada keputusan," kata Wakil Ketua Badan Legislasi DPR, Firman Soebagyo, kepada detikcom, Selasa (23/1/2018).
Model multi mux berarti penguasaan frekuensi dipegang oleh banyak pemegang lisensi, meliputi perusahaan-perusahaan penyiaran swasta dan pihak pemerintah. Model single mux berarti sebaliknya, penguasaan frekuensi sepenuhnya ada di tangan negara.
Masing-masing pendapat punya landasan argumennya. Firman menjelaskan, single mux memfungsikan Lembaga Penyiaran Publik Radio Televisi Republik Indonesia (LPP RTRI) sebagai penyelenggara layanan digital yang mengelola frekuensi dan infrastruktur digital. Di model multi mux, maka LPP RTRI dan setiap lembaga penyiaran swasta berjalan masing-masing.
Ada pula model sintesis single dan multi mux, yakni hybrid. Pada model ini, pihak pemerintah negara dan swasta membagi jatah frekuensinya.
"Swasta hanya menguasasi satu frekuensi untuk dikelola sendiri. Satu frekuensi kalau itu menggunakan resolusi tinggi maka bisa menjadi delapan channel (kanal). Swasta yang memiliki frekuensi lebih harus mengembalikan kelebihannya ke negara," kata Firman.
Ide hibrida ini mengemuka di Baleg DPR. Menurut Firman, model hibrida bisa menumbuhkan demokrasi penyiaran, juga persaingan usaha akan berlangsung sehat tanpa monopoli.
Pengusul single mux, alias frekuensi dikuasai negara, mengacu pada Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Di situ dijelaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Juga, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
"Namun ini juga dipandang sangat berbahaya. Single mux akan membentuk monopoli baru, mengganggu sistem demokrasi penyiaran, dan bisa kembali seperti Orde Baru. Kalau ada televisi atau penyiaran yang agak kritis, bisa diganggu," kata Firman.
Selain itu, merger RRI dan TVRI menjadi LPP RTRI perlu waktu. Kebutuhan teknologi yang terus maju dengan cepat juga perlu anggaran besar dari negara, yakni dari APBN. Single mux dipandangnya bisa mengganggu perkembangan teknologi penyiaran di Indonesia karena setiap pergantian teknologi harus menunggu kucuran APBN.
"Bagi Badan Legislasi, digitalisasi adalah keniscayaan. Namun dalam RUU Penyiaran ini yang perlu diperhatikan adalah soal untuk siapa RUU ini dibuat. RUU ini dibuat untuk kepentingan seluruh masyarakat. RUU ini tidak boleh bersifat diskriminatif, membela yang satu tapi mematikan yang lain, kan nggak boleh begitu," kata Firman.
Kata dia, pembahasan RUU Penyiaran ini terakhir kali dilakukan sebelum masa reses. Baleg memandang pembahasan ini perlu segera dilanjutkan. "Lebih cepat lebih bagus," kata Firman.
(dnu/fjp)
Baca Kelanjutan Multi Mux vs Single Mux di RUU Penyiaran, Baleg DPR: Masih Deadlock : http://ift.tt/2DZwm7D
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Multi Mux vs Single Mux di RUU Penyiaran, Baleg DPR: Masih Deadlock"
Post a Comment